Hari ini ketiga kali nya aku izin tidak masuk kerja karena sakit. Badanku tiba-tiba terasa unwell banget. Kepalaku berat dan badan terasa dingin walau tanpa AC dan kipas angin. Padahal aku tinggal di Jakarta yang terkenal udara panasnya. Jadi deh aku harus menggunakan baju panjang dan kaos kaki selama di kosan seharian ini.
Sepertinya sakitku berawal dari kehujanan selama perjalanan bersama teman-temanku plus beberapa hari sebelumnya aku tidur pagi melulu. Jadi bermula dari weekend sebelumnya, diputuskanlah aku menjadi EO untuk weekend ini. Karena di Jakarta kami hanya bisa pergi ke mall dengan aktifitas nonton, makan, karokean dll, jadi kuputuskan untuk pergi ke alam. Perjalanan sudah diputuskan untuk pergi ke Gunung Galunggung dan Kampung Naga. Rencana perjalanan dan budget yang dibutuhkan juga sudah kususun. Tetapi tiba-tiba di hari Jumat, salah satu temanku sebut saja Hasya si Bos pemilik mobil yang akan kami gunakan mengeluarkan pernyataan fix tidak bisa ikut. Padahal rencana awal kita akan berangkat pukul 8 jumat malamnya. Akhirnya aku dan Tuti langsung mengubah rencana awal menjadi backpackeran dengan personil yang fix bisa ikut 4 orang yang semua cewe dengan tujuan Cianjur (mencari rute yang lebih dekat). Sebenernya 2 teman cowo kami available, hanya saja karena posisi mereka di Cikarang, jadi kami akan mengabari mereka setelah fix bagaimana rencananya untuk perjalanan besok pagi. Namun rencana ini kembali berubah pada jumat malam, si Bos ganteng tapi labil ini akhirnya menghubungiku dan dia mengatakan bisa ikut. Rencana tujuan berubah menjadi Cianjur dengan pertimbangan si Bos tidak akan terlalu capek menyetir dan berangkat pukul setengah 5 pagi. Sebelumnya bahkan berencana untuk berangkat pukul 3 pagi.
Sudah pukul 2 pagi, aku baru saja selesai mencari informasi tujuan yang akan kami tuju. Aku langsung memejamkan mata. Kemudian sekitar pukul setengah 5 pagi, temanku Tuti menelponku dengan suara seperti masih mengigau sepertinya dia berniat membangunkanku. Aku langsung bangun dan membangunkan Cepi yang kamarnya berada di 3 kamar setelah kamarku. Kami langsung sholat mandi dan kemudian berangkat ke rumah Tuti di Halim dengan menggunakan taksi Expr**s andalan selain Blu* B*rd yang lebih mahal. Kami tiba di rumah Tuti sekitar pukul 6, dan si Bos baru tiba menjemput kami pukul 7. Kami semua sama-sama ngaret (sudah biasa). =D
Perjalanan kami dimulai dengan menjemput 2 teman kami di Cikarang kemudian melalui tol Cipularang kami melanjutkan perjalanan ke Padalarang untuk menuju ke Cianjur. Si Bos memilih rute ini dengan alasan takut macet jika melewati puncak. Sehingga rute perjalanan kami lebih jauh dan lebih lama. Kondisi jalan dari Padalarang menuju Cianjur agak tersendat waktu itu karena banyak mobil-mobil besar pengangkut batu yang berjalan lambat. Namun sekitar pertengahan jalan antara Padalarang – Kota Cianjur, jalanan sudah lebih lancar. Bermodalkan Google Maps dari HP ku, kami meraba-raba jalan hingga ke daerah Warung Kondang Cianjur. Kami berhenti sejenak di pom bensin sembari bertanya dimana posisi Gunung Padang dengan salah satu karyawan pom bensin tersebut. Si Bapak mengatakan kurang lebih “Ada pertigaan pertama lurus saja, kemudian ada pertigaan lagi belok kiri. Sejauh 70km”. Kami langsung tercengang ketika Tuti kembali masuk ke mobil dan menceritakan apa yang dikatakan si Bapak. “Masih jauh banget ini” kataku. Namun teman-teman tak menghiraukan perkataan si Bapak dan melanjutkan perjalanan. Kepalang tanggung sepertinya… Si Bos pun kembali mengemudikan mobil nya. Sedangkan yang lainnya memperhatikan jalan mencoba mengintepretasikan penjabaran si Bapak di pom bensin tadi. Ntah di pertigaan ke berapa tetapi tidak jauh dr pom bensin akhirnya aku melihat petunjuk jalan yang bertuliskan “Situs Megalitikum 20 km”. Hahaha.. Serentak teman-teman langsung membandingkan apa yang dikatakan Si Bapak pom bensin dengan papan petunjuk. 70 km dan 20 km. Jauh bukaann?? Hehehe..
Kebahagiian kami setelah mendapat pencerahan jalan dari papan petunjuk jalan tadi sedikit sirna setelah melihat jalan yang kami lewati rusak berlubang-lubang. Si Bos pun tiba-tiba berkata “Koq gw gak yakin ya ma jalannya”. Akhirnya setelah sekitar 2 km Tuti kembali turun dan bertanya kepada bapak-bapak penjual batagor. Tuti kembali masuk dan menyampaikan apa yang dikatakan Bapak batagor yg kembali membuat kami tercengang. “Lurus saja sekitar 2 km”kata si Bapak batagor. OK.. 70 km, 20 km, dan sekarang 2 km. Kami hanya tertawa-tawa dalam mobil karena si Tuti nyeletuk “gak ada yang punya meteran kayaknya”. Hahaha… Kami pun belum puas dengan jawaban-jawaban sebelumnya. Hingga akhirnya kami memutuskan bertanya kepada akamsi ababil yang pasti biasanya mereka lebih gaul. Dan mereka menjawab “lurus saja, nanti ada papan petunjuk”. Oh yaa, sebelumnya Tuti bertanya dengan penjual pulsa yang mengatakan lurus kira-kira 7 km lagi. Positif tidak ada yang memiliki meteran ini. Hahaha…
Jalanan rusak
Sepertinya si Bos mulai mengantuk saat itu. Singgasana driver pun digantikan oleh mbodo. Kami terus berjalan hingga akhir nya menemukan papan petunjuk, “Gunung Padang 15 km”, “Gunung Padang 8 km”, “Gunung Padang 6 km”, “Gunung Padang 3 km”, dan “Gunung Padang 2 km”. Selama perjalanan, pemandangan yang disuguhkan yaitu pemandangan indah perbukitan dan pegunungan yang sesekali melewati pemukiman penduduk. Dan setelah melewati papan petunjuk terakhir, pemandangan yang terlihat yaitu perkebunan teh. Segarnyaa…
Pemandangan
Finnaly, kami sampai di gerbang yang bertuliskan “SITUS MEGALITH, GUNUNG PADANG, CIANJUR”. Sayang kami tak sempat berfoto di gerbang ini. Karena kondisi kami datang dan pulang sedang hujan. Saat kami sampai, jam sudah menunjukkan pukul 1 siang. Kami langsung menuju kamar mandi umum yang tersedia dan sholat. Untung ada si ibu penjaga kamar mandi umum yang baik hati. Beliau menawarkan ruang tamunya sebagai tempat kami sholat sehingga kami tidak perlu mengantri terlalu lama karena tempat sholat umum yang tersedia hanya cukup untuk 2 orang. Selesai sholat aku ribut mengajak teman-teman agar makan terlebih dahulu sebelum mulai hiking ke atas gunung. Akhirnya kami menuju warung makan yang sejak tadi aku lihat yang tidak jauh dari tempat parkir mobil. Oh ya, parkir mobil di sini dikenai biaya Rp 5000 dan biaya mobil masuk Rp 5000. Beberapa dari kami memesan pop mie, sebagian memesan gado-gado. Pop mie di sini di hargai Rp 6000, untuk gado-gado nya aku lupa. Tapi total biaya makan yang kami habiskan untuk ber-8 yaitu 82.500. Itu sudah termasuk cemilan serta Bos dan kami cewe2 yang setelah makan pop mie kembali memesan nasi + ayam dan dimakan bersama-sama. Tapi si Bos makan nasi + 2 ayam sendiri sih. Juga Mbodo dan Diro yang awalnya bilang tidak lapar, ternyata mereka menambah nasi. Kami benar-benar mengacaukan tempat makan ini. Tetapi si Ibu penjual makanan hanya senyum-senyum sambil berkata “gak apa, malah seneng koq”. Hihihihi..
Sudah kenyang kami mulai untuk berjalan kaki sedikit menanjak menuju anak tangga pendakian Gunung Padang. Sebenarnya kami ditawarkan ojek yang dikenai biaya Rp 5000 untuk mencapai tempat itu. Tapi kami memilih jalan kaki dengan sumber si Ibu jualan makanan yang berkata “tinggal jalan dikit lagi koq neng”. Sesampai di depan tangga pendakian ternyata ada loket pembayaran yang perorangnya dikenai biaya Rp 2000 sebelum memulai naik. Karena aku manjadi bendahara perjalanan, aku yang menuju loket tersebut. Sambil membayar, aku ditanyai atas nama siapa rombongan kami, berapa orang, asal rombongan, dan status kami (pekerja atau pelajar). Mungkin pendataan agar jika terjadi apa-apa kami ada di data mereka kali yahh..
Satu.. Dua.. Tigaa.. Kami meminta tolong mba-mba pengunjung lain yang ada di sana untuk mengambil gambar kami. Kami benar-benar ceria saat berfoto sebelum mulai menaiki anak tangga tersebut, hingga si Ibu yang sudah lebih dulu naik dan sudah turun kembali berkata “Baru mau naik ya? Ini senyumnya masih pada ceria, liat aja nanti kalau sudah naik”. Hmm.. kami hanya berfikir OK, Let see bu.. Kemudian setelah berfoto kami mulai menaiki anak tangga. Ternyata untuk mencapai situs tersebut, terdapat dua jalur. Jalur asli dengan jarak 180-an m yang lebih curam dan satu lagi jalur buatan dengan jarak 300-an m tetapi dengan medan yang lebih ringan karena tidak terlalu curam. Kami awalnya memilih jalur buatan, tapi beberapa teman masih penasaran dengan jalur asli namun sebelumnya kami tidak tahu apa bedanya, sehingga aku kembali turun dan bertanya kepada bapak penjaga loket. Dan akhirnya setelah mendengar penjelasan yang aku dapat dari bapak penjual loket, teman-teman memutuskan untuk melewati jalur asli. Awalnya kami masih sempat berfoto-foto di awal mendaki. Hingga akhirnya ditengah tanjakan teman-teman mulai tidak kuat dan sedikit-sedikit berhenti. Aku sebenarnya juga mulai merasa pusing dan betis mulai terasa berat sekali, tapi aku paksakan hingga akhirnya aku dan Diro mencapai atas lebih dulu. Kalau dipikir-pikir 180-an meter tidak terlalu jauh. Tapi dengan kondisi menanjak dengan anak tangga yang curam dan aku yakin aku dan teman-temanku sudah lama tidak berolahraga, penanjakan ini terasa sangat berat. Ditambah hujan yang tiba-tiba turun lagi setibanya aku di atas. Bapak-bapak penjual makanan mengarahkan kami untuk segera berteduh di tempat istirahat semacam kanopi besar yang disediakan untuk pengunjung. Sambil menunggu teman-teman lain sampai, aku membuka payungku dan berjalan menuju teras ke-2 punden berundak menuju tempat yang diarahkan bapak penjual tadi. Ternyata hujan makin lebat dan aku lihat beberapa temanku mulai lemas, bahkan si Cepi bibirnya sudah terlihat sangat pucat. Akhirnya aku kembali ke teras 1 untuk menjemput teman-temanku dan memayungi mereka menuju kanopi. Sebenarnya selain kanopi terdapat tempat yang lebih tertutup. Kami ditawari bapak-bapak penjual dan semacam juru kunci di sana untuk ikut meneduh di tempat mereka yang lebih tertutup tersebut. Tapi kami memillih kanopi besar yang terbuka karena sedikit agak sungkan dan takut karena pakaian mereka seperti perguruan tenaga dalam. Hehehe..
Hujan turun semakin lebat dan angin semakin kencang. Kami duduk di ujung kanopi untuk menghindari hujan yang tetap membasahi bagian dalam tempat peristirahatan tersebut karena angin yang sangat kencang. Bahkan payang-payung yang kami gunakan untuk menghindari badan kami dari air hujan nyaris terbang. Payung Tuti membalik seperti parabola. Haha.. Bahkan payungku dan si Bos jadi rusak. Aku duduk beberapa saat untuk menghilangkan rasa sakit kepalaku. Tetapi akhirnya aku lebih memilih untuk berjalan-jalan ke bagian atas kanopi (terdapat dua lantai) untuk melihat pemandangan dan berhaha-hihi sambil berfoto-foto berharap lupa dengan sakit kepalaku.
ketiup angin
Hujan mulai sedikit reda, kami mulai berkeliling dan berfoto-foto di sekitar punden berundak tersebut. Tiba-tiba salah satu bapak-bapak datang mendekati kami. Pak Nanang namanya. Beliau menceritakan sejarah punden berundak ini berdasarkan cerita dari mulut ke mulut orang tua mereka. Gunung Padang sendiri berasal dari kata “Gunung” yang berarti “Gunung” dan “padang” yang menurut orang sunda berarti “cahaya atau terang”. Menurut beliau kurang lebih maksudnya gunung ini adalah gunung yang memberikan semacam “petunjuk yang membawa kita ke kebaikan”. Karena dari cerita-cerita beliau sendiri menganalogikan hal-hal yang ada di situs ini dengan apa yang seharusnya kita kerjakan. Salah satunya beliau menceritakan keistimewaan angka 5 pada situs ini antara lain yang aku ingat yaitu bebatuan yang terdapat di situs ini rata-rata berbentuk segi 5, Gunung Padang sendiri di kelilingi oleh 5 gunung lainnya, dan terdiri atas 5 teras. Beliau menganalogikan 5 ini dengan rukun Islam yang wajib dijalankan oleh umat Islam. Aku tidak tahu dari mana analogi-analogi ini berasal, tapi yang aku suka beliau tidak mengajarkan kita syirik dan mennyembah bebatuan di tempat seperti ini.
Singgasana Raja
Bersama Pak Nanang
Setelah Pak Nanang menjelaskan singgasana raja yang berada di teras 5 (teras tertinggi), pak Nanang meninggalkan kami karena harus menyapa pengunjung lain. Kami berfoto-foto di dekat singgasana raja tersebut kemudian berjalan turun ke teras ke-4. Di teras ini terdapat batu yang berbentuk kujang (senjata khas Sunda) dan telapak Harimau. Untuk batu yang terdapat bentuk kujang ini temenku Diro langsung bernanalisis, “mungkin ini dulu untuk cetakan buat kujang”. Sotoy. Hahaha.. Dan satu lagi batu yang seperti ada tapak Harimaunya kami tidak begitu paham dengan apa yang dijelaskan oleh Pak Nanang. DItambah hujan kembali turun dengan deras. Pak Nanang mengajak kami untuk berteduh, tetapi kami tetap mengelilingi batu tersebut dan berdiskusi mengenai apa yang kami dengar dari Pak Nanang. Kira-kira percakapan kami seperti ini:
A : Lo rang ngerti gak sih apa yang dibilangin Pak Nanang tadi?
B : Gaaakk..
C : Tapi bapak tadi bilang ada maong-maong nya gitu.
B : Maong apaan si?
D : Kalo gak salah sih maong itu bahasa Sunda artinya Harimau.
E : Tapi tadi aku denger ada tongkat-tongkat nya gitu.
A : Terus apa hubungannya tongkat dengan harimau?
Hujan dan angin terus mengguyur kami, tetapi kami tetap asyik berdiskusi dengan maong, harimau, kaki sembilan, tongkat, tangan kanan, tangan kiri, dan kata-kata yang terdengar sama-samar di tengah hujan yang kami dengar sebagian-sebagian dari penjelasan Pak Nanang. Kami pun tetap berhaha-hihi walau angin semakin bertiup kencang. Hingga akhirnya Pak Nanang menghampiri kami lagi dan menjelaskan kembali mengenai bentuk tapak harimau yang sampai sekarang dari kami tidak ada yang mampu menagkap maksud dari beliau. Hehehe…
Batu berbentuk kujang
‘Tapak Maong’
Pak Nanang kemudian mengarahkan kami menuju teras ke-3. Di sini aku sudah tidak begitu mendengarkan penjelasan beliau karena aku sudah sibuk dengan memfoto-foto dan badanku yang mulai kedinginan karena angin yang masih bertiup sangat kencang. Setelah itu kami turun ke teras ke-2 karena aku sudah ribut “bapak-bapak, mana batu yang bunyinya kayak gamelan?” hehe.. Kemudian sampai di teras ke-3 aku langsung mengenali batu yang berbunyi seperti gamelan yang sebelumnya aku lihat di blog orang lain mengenai Gunung Padang. Aku langsung memukul-mukul batu tersebut dengan tanganku dan teman-temanku mengukutinya. “Ehh… iya kayak gamelan suaranya”. =D
view teras ke-2 dan ke-1
Sebelum turun dari situs, kami sempat ada photo session. Dan aku dengan modal kamera hp satu-satu nya yang masih bisa digunakan untuk mengambil gambar, sudah seperti photografer di studio foto saat mengambil gambar teman-temanku yang ingin foto sendiri-sendiri secara bergantian. “OK.. Next.. Next.. OK.. Next..”. Setelah puas berfoto-foto, kami pamit dengan Pak Nanang sambil memberikan sejumlah uang sebagai tanda terimakasih kami telah ditemani dan dijelaskan mengenai Gunung Padang ini. Kami turun dari situs melalui jalur buatan ditemani seorang akang yang juga bergaya sebuah perguruan tenaga dalam. Kami tidak tahu siapa nama beliau, hanya sempat bertanya-tanya sedikit selama perjalanan turun. Selama perjalanan turun, kami sempat di sapa oleh ibu-ibu yang sedang meneduh di warung makanan yang tidak jauh dari situs. Sepertinya si Ibu heran dengan kami yang walau hujan tetap melanjutkan perjalanan turun. “Mbaa.. Hujan mba, neduh dulu” kata si Ibu. “Iya bu, Tanggung bu, udah basah sekalian”. Kemudian kami berpamitan dengan si Ibu melanjutkan perjalanan turun. Sampai di bawah, kami ingat dengan kata-kata ibu-ibu yang bertemu kami ketika kami akan naik. Ternyata muka kami tetap seceria seperti sebelumnya. Bahkan lebih ceria walau di atas sempat lemas sesaat. Kami melanjutkan perjalanan ke tempat parkir dalam keadaan baju yang sudah basah dan kaki gemetar. Tapi kami tetap saja berhaha-hihi sambil bernyanyi soundtracknya Ninja Hatori. Mendaki gunung lewati lembah.. Sungai mengalir indah ke samudra.. Bersama teman bertualang…
Sesampainya di tempat parkir yang juga dekat dengan kamar mandi umum, kami berganti pakaian dan sholat. Saat itu penjaga kamar mandi umum sudah tidak ada, dan kotak untuk menaruh uang juga sudah tidak ada. Alhasil kami menggunakan kamar mandi dan charge HP gratis. Semoga ikhlas ya bu.. Sudah tak bayar, kami juga menggunakan halaman di depan tempat sholat untuk berteduh. Saat itu hujan semakin deras. Kami menunggu hujan sambil mengobrol dan ngemil makanan ringan yang kami bawa. Hingga akhirnya mbodo nyeletuk “Ehh.. bentar lagi gelap lo. Gimana kita turunnya nanti?”. Tiba-tiba kami langsung terfikir hal yang sama. Membayangkan jalanan sempit dengan tepi jurang dan juga berlubang. Dan Gelaapp.. Ohh noo.. Kami langsung bergegas membereskan barang-barang dan membersihkan sampah makanan. Sudah pukul setengah 6 sore waktu itu. Kami langsung pulang.
Cas Hafe
Pemandangan yang kami lalui mulai tidak terlihat. Disamping sudah sore menjelang malam, kondisinya juga masih hujan. Singgasana driver kembali kepada si Bos yang sesekali bertanya pada penumpangnya jalan mana yang seharusnya dilalui. Karena sebelumnya si Bos tertidur ketika Mbodo menggantikan posisinya. Suasana di luar semakin gelap, tepat di pertigaan yang terdapat papan petunjuk “Gunung Padang 3km “ kami ragu jalan mana yang yang harus dipilih. Akhirnya kami memilih untuk belok ke arah kanan. Kira-kira lebih dari 3 km kami mulai merasa janggal dengan jalan yang kami lewati. Kami berada di tengah-tengah perkebunan teh dengan jalan berbatu tanpa aspal. Padahal sebelumnya kami selalu melalui jalanan beraspal. Alhamdulillah ada petani teh yang tengah dalam perjalanan pulang. Kami bertanya kepada mereka dan ternyata benar, kami tersesat. Kami mencari tahu dimana persimpangan jalan awal kesalahan kami. Selama perjalanan aku malah ingat cerita bis yang ‘disasarkan’ makhluk halus. Tetapi aku menahan diri untuk bercerita, yang keluar dari mulutku malah “Jalan mana yah yang kita ditutupin”. Ntah kenapa aku jadi mistis begini rasa nya, tapi sempat aku terfikir dan berbicara kepada teman-temanku “jangan-jangan pertigaan yang ada papan petunjuk tadi itu untuk penunjuk dari arah lain, jadi kita harusnya belok kanan”. Alhamdulillah sesampainya di pertigaan yang aku maksud, kami bertemu dengan warga dan mendapat petunjuk ternyata memang benar apa dugaanku tadi, seharusnya kami berbelok ke kanan.
Ntah berawal dari mana, tiba-tiba si Bos bercerita mengenai truck dan bus yang tiba-tiba berada di tengah hutan setelah sebelumnya merasa terbentur sesuatu. Hahaha… “Ini kan yang ada dipikiranku tadi. Tapi aku tahan-tahan untuk gak cerita”kataku pada teman-teman. Cerita pun berlanjut dengan cerita mistis-mistis lainnya di saat jalanan yang kami lalui berupa hutan-hutan dan jurang-jurang. Bahkan sempat jalanan tidak terlihat karena kabut tebal sedang turun. Sesaat masih terdengar cerita dan tawa teman-teman kemudian mataku yang mulai berat tak tertahan akhirnya aku tertidur. Kira-kira beberapa menit berlalu aku kembali terbangun, tepat di pertigaan yang saat berangkat ketika Mbodo masih berada di singgasana driver hampir keblabasan, si Bos juga mengarahkan mobil ke kiri. Aku reflex bilang “Syaa.. kanan sya”. Si Bos pun lalu berhenti dan teman-teman lain baru tersadar “ohh.. ini kan yang ada mas-mas alay baju ijo tadi”. Hahhaa.. Tak lama dari situ aku kembali tertidur..
Mobil tiba-tiba berhenti, aku kembali terbangun. Ternyata kami sudah berada di pom bensin dengan bapak-bapak 70 km tadi. Berarti kami sudah hampir tiba di kota Cianjur. Perut kami sudah mulai keroncongan, apalagi si Tuti yang dalam hitungan menit bisa bilang “lapeeerrr”. Setibanya di Cianjur kota kami berhenti di Nelayan Seafood Resto. Resto ini menurutku tidak cocok untuk nongkrong anak-anak muda, apalagi untuk ngegaul. Ada Billiard table nya sih dan live music, tapi yang lebih sering nyanyi emak-emak yang membawakan lagu tembang kenangan. Karena menjual seafood tema resto nya memang seakan-akan membawa nuansa laut. Dengan bagian tengah terdapat pasir yang bisa dijadikan tempat bermain anak-anak. Dan mas-mas waiternya menggunakan baju pantai. Tapi dengan konsep yang seperti itu ntah kenapa aku masih menganggapnya sedikit maksa. (Hehe.. Piss yah pemilik resto. =D) Sistem cara pemesanannya di resto ini kita harus memilih sendiri apa yang akan kita makan, baru ditimbang dan kemudian dimasak. Karena aku bendahara jadi aku yang memilih makanan untuk mempertimbangkan budget. Kami memesan ikan bawal seberat 1 kg (Rp 125.000) dan cumi 5 ons (Rp 50.000). Perkiraan kami menghabiskan kira-kira plus minum dan tumis sayuran total Rp 250.000. Ternyata diluar dugaan, kami menghabiskan Rp 314.000. Dan ketika kami melihat bill, total nasi yang kami makan yaitu Rp 60.000. “Beras nya pake beras Cianjur yang mahal berarti” cletuk salah satu temanku. Hahaha..
Nelayan Seafood
Hari semakin malam, kami berniat akan menginap di rumah teman di Bandung. Sekalian sengaja memilih rute Bandung untuk menghindari kemacetan di Puncak. Sekitar pukul 12 malam kami tiba di rumah Edward yang biasa kami panggil bule di Perumahan Palem II Sukapura. Sebelum tiba di rumah bule kami harus ke kamar mandi umum dan membeli air minum kemasan untuk sikat gigi dan cuci muka, karena tidak ada air di rumah bule. Aaahhh… suasana berkumpul elektro yang selalu membuat kangen. Ngobrol bersama-sama, bertanya kabar si A, B, C dll, tidur bersama. Terutama gosip membahas si Legend of Electro. Gak ada habisnya pokoknya. Tapi karena sudah terlalu capek, akhirnya cewe-cewe berlima masuk kamar dan tidur di kamar bule. Sedangkan yang laki-laki tidur di depan TV. Walau tempat tidur bule double bed, tapi untuk berlima lumayan sesak juga. Posisi sudah seperti ikan asin berjajar, sampai aku beberapa menit mencari posisi tangan yang nyaman hingga akhirnya tertidur pulas.
Sekitar pukul 5 pagi Tuti dan Cepi yang lebih dulu bangun membangunkan aku, Mali, dan Ratri. Kami harus mencari masjid untuk sholat Subuh. Di pagi-pagi yang masih gelap, hujan, dan udara dingin bandung, kami harus keluar mencari Masjid. Akhirnya Mbodo dan Diro yang lebih dulu berangkat mengabarkan kami ada masjid yang bisa digunakan di belakang SMA Sukapura. Kami bergantian sikat gigi di tempat wudhu masjid dan antri di kamar mandi. Semacam lagi pesantren kilat saja rasanya. Selesai bersih-bersih kami sholat Subuh berjamaah kemudian menjemput bule untuk mencari sarapan di pasar kaget depan mantan kampus kami. Karena masih hujan, kami memilih tempat makan yang bertenda. Akhirnya tertuju pada bubur ayam tepat depan gerbang kampus. Selesai makan kembali kami mengobrol dan berhaha-hihi . Hingga akhirnya perutku terasa mulas. Karena tidak ada air di rumah bule dan kamar mandi terdekat yang available adalah MSU, akhirnya kami cewe-cewe pergi ke MSU. Ternyata tidak hanya aku yang merasa mulas di pagi itu, ternyata kami berlima merasakan hal yang sama. Hingga akhirnya kami bergantian di MSU. Hahaha…
Kami kembali ke rumah Bule untuk membereskan barang-barang dan segera kembali ke Jakarta. Karena Bule pagi itu harus segera berangkat ke Gereja. Selesai membereskan barang-barang kami berpamitan dan meninggalkan rumah Bule. Ternyata belum puas dengan sarapan, si Tuti yang sejak kemarin ngidam rambutan mengajak mampir ke pasar kaget lagi. Kali ini hanya aku, Tuti, dan Mali yang turun. Kami membeli rambutan 4 ikat, bacil, cakue, dan jajanan pasar. Seketika mobil penuh dengan plastik makanan. Selama perjalanan ke Jakarta mulut kami tidak berhenti mengunyah terutama si Tuti. Namun kilo meter tol cipularang semakin berkurang. Bermula dari pintu tol Cikarang Barat, kami mengantarkan Diro kemudian Mbodo. Kemudian sampailah di pintu tol Cililitan, Tuti dan Mali turun di Halim. Hingga akhirnya Hasya mengantarkan aku dan cepi ke Cempaka Baru. Bersisa Ratri yang akan turun di Salemba dan Hasya sendiri di Tebet. Selesai sudah liburan di weekend ini. Ayo teman next trip kita ke Cibodas yahh.. Hehehee….